Kumpul Kebo Marak di Indonesia, Daerah Ini Paling Banyak

Kumpul Kebo Marak di Indonesia, Daerah Ini Paling Banyak

azzifamily.com – Kumpul kebo atau Praktik tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan semakin marak terjadi di beberapa wilayah Indonesia, khususnya di bagian Timur. Meski dianggap tabu secara budaya dan agama, fenomena ini mulai diterima sebagian kalangan muda yang memandang pernikahan sebagai institusi yang kompleks dan penuh aturan.

Menurut laporan The Conversation, perubahan pandangan generasi muda terhadap relasi dan institusi pernikahan menjadi pemicu utama meningkatnya kohabitasi. Banyak yang menganggap kumpul kebo sebagai bentuk relasi yang lebih jujur dan fleksibel, dibandingkan ikatan pernikahan formal yang dianggap mengekang.

“Baca juga : Daftar Negara Peminum Alkohol Tertinggi, Indonesia Masuk?”

Studi BRIN Ungkap Alasan Utama Kohabitasi di Manado

Sebuah studi yang dilakukan oleh Yulinda Nurul Aini, peneliti muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyoroti fenomena kohabitasi di Kota Manado, Sulawesi Utara. Data dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) BKKBN mencatat bahwa 0,6% penduduk kota tersebut hidup bersama tanpa menikah.

Dari populasi kohabitasi itu:

  • 1,9% perempuan sedang hamil saat survei berlangsung
  • 24,3% berusia di bawah 30 tahun
  • 83,7% berpendidikan SMA ke bawah
  • 11,6% tidak memiliki pekerjaan
  • 53,5% bekerja di sektor informal

Yulinda menyebut tiga alasan utama kohabitasi di Manado: tekanan finansial, rumitnya prosedur cerai, dan meningkatnya penerimaan sosial.

Dampak Sosial dan Ekonomi terhadap Perempuan dan Anak

Praktik kumpul kebo membawa dampak besar, terutama bagi perempuan dan anak. Tidak adanya perlindungan hukum menyebabkan perempuan tidak memiliki jaminan finansial bila hubungan berakhir. Berbeda dengan pernikahan resmi, kohabitasi tidak mengatur hak waris, hak asuh anak, atau kewajiban nafkah dari pasangan pria.

Yulinda menegaskan, “Jika hubungan berakhir, perempuan dan anak bisa terabaikan karena tidak ada regulasi yang melindungi mereka.”

Dari sisi psikologis dan sosial, anak yang lahir dari hubungan kohabitasi sering menghadapi stigma sebagai anak haram. Mereka cenderung mengalami krisis identitas, gangguan emosional, dan kesulitan membaur dalam struktur keluarga besar dan masyarakat luas.

Fenomena Kumpul Kebo Meningkat di Indonesia Timur: Alasan Sosial, Dampak, dan Tantangan Regulasi

Tingkat Konflik dalam Hubungan Kohabitasi

Menurut data PK21:

  • 69,1% pasangan mengalami konflik ringan seperti adu argumen
  • 0,62% mengalami konflik berat hingga pisah ranjang
  • 0,26% mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)

Minimnya komitmen formal dan ketidakpastian masa depan membuat hubungan ini rentan terhadap tekanan emosional dan mental. Hal ini berdampak langsung pada kesejahteraan pasangan maupun anak.

Perlu Pendekatan Sosial dan Regulasi Inklusif

Fenomena kumpul kebo mencerminkan perubahan dinamika sosial di tengah masyarakat Indonesia yang sedang bergerak menuju gaya hidup lebih bebas. Namun, tanpa regulasi dan pendekatan perlindungan yang tepat, praktik ini dapat menimbulkan dampak serius terhadap kelompok rentan, terutama perempuan dan anak.

“Baca juga : 4 Smartphone Kamera 200MP Termurah 2025, Hasil Foto Tajam!”

Ke depan, pemerintah dan masyarakat perlu menyusun pendekatan hukum dan sosial yang mampu menjawab tantangan ini. Edukasi, bimbingan keluarga, dan akses layanan sosial menjadi kunci dalam merespons tren kohabitasi yang terus berkembang di era modern.